Foto: Analis Kebijakan Ahli Muda - DJPHU, Abdul Basir (kanan).

Umrah Backpacker: Antara Regulasi Pemerintah, Resiko dan Solusi

6 minutes, 6 seconds Read

BANDUNG — Para pelaku usaha umrah dan masyarakat ramai membahas maraknya informasi umrah mandiri atau umrah backpacker. Banyak pihak yang tertarik dengan broadcast yang berseliweran di beranda media sosial.

Tak sedikit promosi umrah backpaker yang dikirim para pelaku usaha umrah (pimpinan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah/PPIU). Tentu saja mereka bukan pihak yang menawarkan. Mereka lebih pada meminta pemerintah untuk tidak membiarkan praktik umrah yang jelas melanggar regulasi. Terlebih umrah backpacker juga dapat mengancam eksistensi bisnisnya.

Apakah umrah backpacker sesuai dengan peraturan perundang-undangan, umrah tersebut ada risiko atau tidak. Analis Kebijakan Ahli Muda – DJPHU, Abdul Basir mengatakan bahwa
Umrah backpaker lebih mudahnya yakni umrah yang dilakukan secara mandiri tanpa melibatkan travel umrah. Masyarakat akan mencari visa sendiri, pesan tiket penerbangan sendiri, bahkan booking hotel di Arab Saudi dilakukan sendiri pula, tanpa melalui jasa travel umrah.

“Ya, memang benar bahwa visa umrah saat ini dapat dipesan secara mandiri melalui aplikasi Nusuk Arab Saudi. Aplikasi ini memang dibuat Arab Saudi agar mempermudah orang mendapatkan visa umrah, begitu oula dengan pemesanan tiket pesawat dan akomodasi di Arab Saudi,” katanya, seperti dikutip kemenag.go.id, belum lama ini.

“Saat ini, banyak tersedia platform  digital untuk pemesanannya. Sehingga bisa dikatakan masyarakat dapat memesan secara mandiri,” papar  Abdul.

Regulasi Umrah
Tentunya, masyarakat harus tahu, bahwa UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) mengatur tata cara WNI yang akan beribadah umrah. Pasal 86 menyebutkan bahwa umrah dapat dilaksanakan secara perseorangan dan berkelompok melalui PPIU.

Hal tersebut, katanya, semua yang akan beribadah umrah baik secara perseorangan maupun berkelompok harus melalui PPIU. Hal itu, bukan semata-mata untuk pemesanan visa, tiket, dan hotel. Namun jauh lebih banyak dari itu.

PPIU merupakan badan hukum di luar negeri dan bertanggung jawab atas keselamatan, keamanan, dan kenyamanan jemaah umrah. Hal itu, salah satu alasan umrah wajib melalui PPIU.

“Keberangkatan umrah melalui PPIU ini, lebih menekankan pada unsur pelindungan, bukan hanya sekedar mengantar orang yang akan beribadah,” ungkap Abdul.

Jadi umrah backpaker ini, pasalnya, menurut peraturan perundang-undangan, jelas tidak sesuai. Ada banyak regulasi yang ditabrak. Belum lagi bicara tentang ada tidaknya pihak yang turut serta membantu, mengumpulkan, memberangkatkan, menerima setoran biaya umrah yang dikoordinir.

“Karena setiap orang dilarang tanpa hak dan melarang pihak yang tidak memiliki izin sebagai PPIU menerima setoran biaya umrah. Larangan tersebut masuk dalam kategori pidana,” tandasnya.

Foto: Para jemaah sedang melakukan tawaf dengan mengelilingi ka’bah, di Masjidil Haram, Makkah.

Risiko
Menurut Abdul, risiko bagi pelaku umrah backpacker ini, banyak risiko bagi mereka yang umrah backpaker secara mandiri tanpa melalui PPIU.

Data jemaah umrah dari Indonesia yang dihimpun dari Sistem Komputerisasi Pengelolaan Terpadu Umrah dan Haji Khusus (Siskopatuh) menunjukkan bahwa mayoritas jemaah umrah berpendidikan menengah ke bawah, belum pernah bepergian ke luar negeri, berusia lanjut, didominasi perempuan, dan berasal dari desa. Mereka identik dengan masyarakat yang belum memiliki pengalaman ke luar negeri, termasuk Arab Saudi.

“Mereka itu, tidak mengetahui regulasi penerbangan internasional, tak memahami regulasi Arab Saudi, bahkan tidak mengenal kultur masyarakat di tanah suci,” tuturnya.

“Bila kelompok masyarakat tersebut melaksanakan umrah backpacker, tentu mereka membutuhkan pendampingan. Mereka rentan terhadap penipuan, Bila sudah tertipu, tentu akan sangat merepotkan banyak pihak,” kilah Abdul.

Jemaah backpaker ini, kata Abdul, tidak memiliki akses untuk mengurus hak-haknya jika mengalami persoalan, termasuk saat di Arab Saudi. Bila terlantar misalnya, maka sangat mungkin mereka akan menjadi overstayer  atau tinggal melebihi batas waktu visa.

Ada denda besar menunggu dan dipastikan akan dideportasi oleh otoritas Arab Saudi. Efek deportasi juga tidak kalah menyeramkan, yakni dilarang masuk Arab Saudi dalam waktu 10 tahun.

“Tak kal repotnya bila mereka rawan sakit karena cuaca ekstrem dan tidak mendapatkan layanan standar. Sebagai contoh, pada bulan lalu ditemukan jemaah umrah backpaker berusia lanjut yang ditinggal kelompoknya karena harus menjalani perawatan di Rumah Sakit yang ada di Jeddah. Ketika jemaah tersebut telah dinyatakan sembuh dan boleh pulang, ternyata tidak ada pihak yang bersedia memulangkan karena berangkat tanpa melalui PPIU,” ujarnya.

“Ditemukan pula jemaah umrah yang meninggal dunia, bahkan sejak sebelum operasional haji, tapi belum dimakamkan. Karena tidak ada yang mengurus izin pemakaman disebabkan ketidakjelasan pihak yang memberangkatkan,” sebut Abdul.

Solusi
​Abdul  menjelaskan perlu berbagai alternatif solusi dalam menangkal umrah backpacker. Pertama, masyarakat harus diedukasi bahwa umrah backpacker melanggar hukum dan berbahaya. Edukasi ini, tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah atau Kementerian Agama.

Para pelaku usaha, baik PPIU maupun asosiasi PPIU, wajib aktif mengedukasi regulasi umrah kepada masyarakat karena jelas praktik umrah backpacker merugikan banyak pihak.

“Beragam media edukasi yang bisa dibuat seperti sosialisasi, broadcast informasi, pembuatan video pendek, video statement, infografis, seminar, dan kegiatan lainnya,” jelasnya.

Kedua, perlu koordinasi lintas kementerian/lembaga. Kemenag dan Imigrasi menjadi garda terdepan dalam mencegah umrah backpacker. Kemenag harus meningkatkan pengawasan keberangkatan umrah di seluruh bandara internasional.

Pihak Imigrasi juga perlu memastikan pada gate pemeriksaan imigrasi bahwa pemegang visa umrah benar diberangkatkan oleh PPIU.

Ketiga, penegakan hukum. Aparat Penegak Hukum (APH) dapat menggunakan ancaman dalam Pasal, bagi pihak yang melanggar dapat dipidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak enam miliar rupiah.

Keempat, penguatan diplomasi luar negeri. Kementerian Agama dapat mengajak Arab Saudi melakukan harmonisasi regulasi umrah antara regulasi di Arab Saudi dan Indonesia. Ada berbagai regulasi umrah di Indonesia yang mungkin tidak diketahui Arab Saudi sehingga perlu penyelarasan.

“Harmonisasi regulasi ini, bisa jadi akan menjadi pintu masuk bagi integrasi sistem Siskopatuh dan Nusuk Arab Saudi. Integrasi sistem ini akan mampu mendeteksi setiap visa umrah yang dikeluarkan oleh Arab Saudi kepada masyarakat Indonesia. Semua pihak perlu saling mendukung agar masyarakat Indonesia dapat menjalankan ibadah umrah dengan nyaman, aman, sehat, dan selamat,” pungkasnya.

<Anto/Geobdg>.

Share us:

Similar Posts

Leave a Reply