BANDUNG — Merujuk pada rencana Kemenag penyelenggaraan ibadah haji 1446 H tinggal beberapa bulan lagi. Penerbangan kloter pertama ke tanah suci direncanakan pada 2 Mei 2025, tahun depan. Jadi jika dihitung, penyelenggaraan ibadah haji tinggal 5 bulan lagi. Namun, hingga saat ini Komisi VIII DPR RI belum menyepakati dan menetapkan besaran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH. Serta terkait dengan berbagai persiapan teknis lainnya, termasuk besaran kuota jemaah.
Dalam rilis Koran Gala, pekan ini, disebutkan bahwa Desember 2024 hingga Januari 2025 DPR akan memasuki reses. Berkaca pada musim haji tahun lalu, awal November 2023 Panja Haji sudah bekerja secara maraton. Dan akhir November hasil kesepakatan BPIH telah disampaikan ke Presiden RI.
Persiapan haji terlalu mepet dikhawatirkan akan berdampak pada penyelenggaraan ibadah haji tidak maksimal. Di sisi lain calon jemaah butuh segera kepastian besaran biaya yang harus dilunasi dan jadwal keberangkatan.
Baca Juga: Otoritas Saudi Bagikan Waktu Terbaik Umrah Hindari Kepadatan
Menurut Mustolih Siradj selaku Ketua Komnas Haji, Waktunya sudah mepet. Dikhawatirkan jika persiapan tidak maksimal penyelenggaraan haji bisa terganggu. Bagi calon jemaah dapat banyak tidak mampu melunasi karena minim sosialisasi dan mendadak sehingga akan banyak kuota haji tak terserap.”
Penyelenggaraan ibadah haji tentu memerlukan persiapan yang sangat matang. Karena hal ini menyangkut banyak aspek teknis diselenggarakan di Arab Saudi. Meliputi penyiapan dokumen visa, paspor, penerbangan, aspek kesehatan, konsumsi, pemondokan, transportasi, manasik dan sebagainya.
UNtuk semua aspek tersebut, tentu membutuhkan biaya. Hal itu harus dihitung dengan cermat nantinya masuk dalam komponen Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Dimana di dalamnya juga terdapat Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) harus dilunasi calon jemaah. Dan berapa nilai manfaat dana haji akan disubsidi dari Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Kesepakatan Rapat Panja
Kesepakatan rapat Panja antara Komisi VIII DPR dengan Kemenag, BPH dan BPKH nanti akan diserahkan kepada Presiden RI. Hal itu, untuk diterbitkan Keputusan Presiden (Keppres) sebagai payung hukum penerbitan BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji).
Keppres itu, menjadi dasar dan payung hukum pembiayaan penyelenggaraan haji dan seberapa banyak kuota haji reguler dan haji khusus. Dimana syarat dari penetapan BPIH harus atas persetujuan DPR.
Berbagai kontrak untuk pembiayaan hotel di Mekkah, Madinah, konsumsi, transportasi. Kesehatan, biaya di Masya’ir termasuk pemondokan di Arafah dan Mina harus segera dilakukan dan tidak boleh terlambat.
Jika terlambat maka risikonya lokasi jemaah haji ditempatkan jauh dari pusat-pusat zona/kawasan ring satu. Hal itu, dekat dengan pusat penyelenggaraan ibadah haji seperti Masjidil Haram. Masjid Nabawi dan khususnya pemondokan di Mina untuk menuju pelaksanaan ibadah di Jamarat.
Jika tempatnya jauh, maka jemaah butuh effort yang luar biasa. Terlebih bagi para lansia dan yang beresiko tinggi (risti) secara kesehatan. Pendampingan para petugas juga butuh konsentrasi lebih besar.
Informasi, saat ini pemerintah Arab Saudi menerapkan sistem first come first serve, siapa cepat akan dapat layanan lebih awal. Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi Tawfiq F Al Rabiah saat bertemu dengan Menteri Agama RI Nasaruddin Umar di Mekkah. Memberi saran agar kontrak-kontrak untuk kebutuhan jemaah Indonesia segera dilakukan. Sebab jika terlambat akan diambil oleh negara lain.
“Di setiap musim haji, Indonesia dan berbagai negara dari segala penjuru dunia bersaing memperoleh tempat strategis. Tentunya, yang dekat dengan pusat penyelenggaraan ibadah haji” ungkap sosok yang juga Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta.
Leading Sector
Saat ini kewenangan untuk membahas BPIH ada ditangan Komisi VIII untuk memanggil Kemenag. Badan Penyelenggara Haji (BPH), dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Merujuk pada UU No.8 Tahun 2019, tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah yang menjadi leading sector musim haji 2025. Tetap berada di tangan Kementerian Agama karena beleid tersebut belum direvisi. Adapun kedudukan BPH lembaga baru dibentuk ini jika merujuk pada Peraturan Presiden No.154 Tahun 2024 masih sebatas supervisi dan koordinasi.
Terkait peran BPH menjadi leading sector penyelenggaraan haji setelah ada revisi UU, No.8 Tahun 2019,. Rencana baru akan dibahas tahun depan Mustolih mengatakan, Dalam tata urut perundang-undangan, sudah jelas,. Undang-undang (UU) berada lebih tinggi dari Peraturan Presiden (Perpres). Karena itu Komisi VIII tak perlu mempertentangkan kewenangan Kemenag dan BPH. Siapa yang menjadi penanggungjawab dan pelaksana sudah terang diatur dalam undang-undang.”
Komnas Haji berharap, penyelenggaraan ibadah haji 2025 dapat lebih baik dari pada tahun-tahun sebelumnya. Terlebih musim ini merupakan penyelenggaraan haji pertama di pemerintahan Presiden Prabowo karena itu harus aman, nyaman dan sukses. <Anto/geobdg>