BANDUNG — Ketika Hamengkubuwana VII wafat tak ada lagi yang dapat menghalangi langkah Suryomentaram keluar keraton. Baginya, hidup di keraton seperti tinggal di penjara sebab tak bisa bertemu rakyat biasa. Jadinya, dia meminta izin kepada Hamengkubuwana VIII untuk pergi.
Sosk itu tak lain yakni Raden Mas Kudiarmadji alias Suryomentaram. Dia merupakan anak ke-55 dari manusia terkaya di Jawa sekaligus orang nomor satu di Kesultanan Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwana VII (1839-1921).
Kemudian, dia menjual seluruh harta benda pada 1925. Dari mulai tanah, mobil, hingga kuda. Uang hasil penjualan dia bagikan kepada abdi dalem keraton dan sisanya dia belikan tanah. Di Salatiga untuk tempat tinggal di sisa hidupnya.
Di kediaman baru inilah, Suryomentaram bekerja sebagai petani dan menjalani kehidupan sebagai rakyat biasa. Dia sering menggunakan kaos oblong, celana pendek, dan kain compang-camping. Selama periode ini, dirinya merumuskan ilmu-ilmu spiritualitas. Salah satunya terkait kawruh begja atau ilmu kebahagiaan.
Hal itu, katanya, manusia jangan terlalu mengejar kesenangan dunia. Sebab, itu semua tak ada yang abadi. Atas dasar ini, manusia seharusnya hidup sederhana. Jika berlebihan, maka hidup bakal tak baik-baik saja.
Nasehat-nasehat seperti ini membuat nama Suryomentaram naik daun. Bahkan, pada 1957 Presiden Soekarno pernah meminta wejangan kepadanya untuk mengurus negara. Suryomentaram wafat pada 18 Maret 1962 di usia 70 tahun. Walau begitu, pemikirannya masih dilestarikan hingga sekarang. <Anto/geobdg>