BANDUNG–Abah Landoeng termasuk salah satu saksi sejarah perhelatan Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung. Ia bertugas mengumpulkan mobil untuk para delegasi peserta KAA. Perjuangan mengumpulkan mobil tidaklah mudah.
Bekerja mengumpulkan mobil ia lakukan selepas mengajar pada sore hari. Setelah maghrib, Abah Landoeng langsung berkeliling ke beberapa tempat di Bandung untuk mencari mobil. Sepeda onthel menjadi sahabat baik yang menemaninya bertugas.
Selama dua pekan, Abah Landoeng mampu mengumpulkan 14 mobil dari berbagai penjuru Kota Bandung. Mobil-mobil yang dikumpulkan terbilang mewah pada masanya, seperti Mercy, Dodge, dan Impala. Bagi Abah Landoeng, pemilik mobil yang rela mobil miliknya dipinjam menaruh kepercayaan penuh padanya.
Menurut Humas Pemkot Bandung, Sabtu (29/6), para pemilik mobil memang mengenal Abah Landoeng sebagai seorang pengajar. Mobil-mobil pun digunakan untuk para delegasi peserta KAA tanpa perlu disewa. Ia mengumpulkan 14 mobil dikarenakan waktu terbatas. Namun, 14 mobil akhirnya dikumpulkan bersama ratusan mobil lainnya untuk digunakan selama KAA 1955 berlangsung.
Menurut Humas Pemkot Bandung, Abah Landoeng pun pernah ditugaskan oleh Presiden Sukarno sebagai pawang hujan. Usai KAA, Abah pun kembali menjadi seorang pengajar dan pada tahun 1963 beliau diberangkatkan atas permintaan Sukarno ke Malaysia untuk memberantas buta huruf yang ada di negeri Jiran tersebut.
Pria yang kini telah memasuki usia senja ini juga pernah menjadi bagian penting dalam pembuatan lagu Oemar Bakrie yang dinyanyikan Iwan Fals dan amat populer, terutama pada generasi 90-an.
Berjuang untuk Pendidikan
Landoeng yang akrab disapa Abah Landoeng lahir di Bandung pada 11 Juli 1926. Beliau menempuh pendidikannya di Algemeen Metddelbare School (AMS) karena ayahnya merupakan seorang mandor yang turut dalam pembangunan Gedung Sate.
Landoeng pada saat muda biasa bekerja sebagai pengambil bola di lapangan golf dan tenis. Dari pekerjaannya, ia mengumpulkan sen demi sen untuk membeli beras dan sembako.
Setelah lulus dari AMS, sekitar tahun 1942, Landoeng muda suka berkeliling Kota Bandung dengan sepeda kumbangnya.
Ia akan bertanya kepada tukang panggul atau petani yang ditemuinya, apakah mereka bisa membaca. Jika belum, Landoeng akan berhenti dan mengajar mereka membaca dengan papan tulis kecil dan kapur yang ia bawa di sepeda kumbangnya.
Landoeng juga mengajari para saudagar kaya di Pasar Baru yang juga buta huruf. Dari para saudagar kaya inilah, Landoeng biasanya mendapatkan makanan dan minuman.
Ia memperjuangkan pendidikan dengan cara mengajar lewat membaca bagi orang-orang yang buta huruf dan salah satu kisah dari beliau pada saat berjuangnya itu ketika sedang bersepeda dan bertemu dengan para petani. Mereka ditanya apakah bisa membaca.
Karena mereka mengaku tidak bisa, ia berhenti bersepeda dan megajar mereka untuk membaca. Pada saat kemerdekaan, beliau diangkat menjadi pendidik di SMPN 4 Bandung
Walaupun statusnya sebagai pendidik pun beliau ikut andil dalam perang melawan penjajahan Belanda dan Jepang. Setelah perang kemerdekaan, tahun 1950 beliau diberangkatkan ke Malaysia untuk mengatasi masalah buta huruf. <ds/geobdg>