BANDUNG — Di Provinsi Jawa Barat, terdapat sebuah kabupaten yang hilang bak ditelan bumi. Namanya Kabupaten Batulayang. Saat ini Batulayang diketahui hanya berstatus sebagai desa di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat (KBB). Wilayahnya memiliki luas 6,54 kilometer persegi dan dihuni oleh 11.558 penduduk, berdasarkan catatan BPS pada tahun 2021.
Tetapi ternyata, kisahnya jauh saat masa kolonial Hindia Belanda, Batulayang merupakan nama salah satu kabupaten di Jawa Barat. M Ryzki Wiryawan, seorang pemerhati sejarah asal Bandung, mengurai catatannya dalam buku yang berjudul Pesona Sejarah Bandung: Perkebunan di Priangan.
Ryzki, secara spesifik membahas tentang Musnahnya Kabupaten Batulayang. Berawal saat masih dalam penguasaan Hindia Belanda pada abad ke-18. Rizky menuturkan Wilayah Batulayang mencakup 3 distrik yaitu; Kopo, Rongga dan Cisondari yang sekarang meliputi Cililin, Ciwidey dan Gununghalu.
“Batulayang dibatasi oleh Gunung Wayang dan Linggaratu di sebelah Timur. Sungai Cisokan dan Cianjur di barat; Gunung Tilu dan Citarum sampai ke muara Cisokan di sebelah utara. Gunung Patuha dan Cisokan di sebelah selatan,” Ryzki dalam bukunya.
Batulayang Mempunyai Ibu Kota Bernama ‘Gajah’
Saat masih berstatus sebagai kabupaten, Batulayang memiliki Ibu Kota bernama Gajah atau Gajah Palembang. Berada di tepi Citarum (sebelah Margahayu sekarang). Pemberian nama Gajah itu ditengarai terjadi karena penguasanya zaman dulu yang bernama R. Moh. Kabul atau Abdul Rohman, pada 1770 membawa oleh-oleh seekor gajah saat pulang usai ditugaskan VOC ke Palembang.
Sebatas informasi, ada sebuah desa yang bernama Gajah Mekar. Desa tersebut secara administratif berada di Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung. Dulu, wilayah ini masuk ke dalam wilayah Kabupaten Batulayang. Sebelum menjadi kabupaten, Batulayang juga sempat masuk dalam status keprabuan di bawah kuasa Kerajaan Padjajaran.
Menariknya, Abdul Rohman juga membuat tempat pemandian gajah yang kemudian di wilayah tersebut dinamakan Leuwigajah. Sebuah kelurahan yang kini masuk administrasi Kecamatan Cimahi Selatan di Kota Cimahi.
Ryzki turut mencatat silsilah penguasa Batulayang dari berbagai versi. Sejumlah nama seperti Tumenggung Suradirana hingga Tumenggung Adikusumah. Silih berganti memimpin Batulayang dari zaman kerajaan tahun 1740-an hingga masa pendudukan Hindia Belanda pada tahun 1800-an.
Dimedio tahun 1770-an, Batulayang dipimpin seorang bupati bernama Tumenggung Rangga Adikusumah. Namun ia meninggal dan status kepemimpinannya tidak berlangsung lama.
Jabatan Bupati Batulayang kemudian diserahkan kepada Bupati Bandung pada 1785. Lantaran penerusnya, Raden Bagus, anak dari Tumenggung Rangga Adikusumah, saat itu masih berusia 12 tahun.
Pada tahun 1794, Raden Bagus akhirnya diangkat sebagai Bupati Batulayang. Dengan gelar Tumenggung Rangga Adikusumah II (sumber lain menyebutkan Dalem Tumenggung Anggadikusumah). Tapi, petaka kemudian datang saat sang pewaris tahta tak sekompeten ayahnya dalam memimpin Batulayang.
Hancurnya Perkebunan Kopi di Batulayang
Dalam tulisannya, Ryzki menyebut Tumenggung Rangga Adikusumah II begitu buruk dalam memimpin Batulayang. Ia menelantarkan perkebunan kopi di sana, yang saat itu masih jadi primadona Hindia Belanda. Bahkan punya kebiasaan tak wajar lantaran gemar mengkonsumsi opium dan minuman keras.
“Berdasarkan laporan Pieter Engelhard pada 1802, Tumenggung Anggadikusumah memimpin Batulayang dengan buruk, membiarkan perkebunan kopi menjadi hutan belantara dan semak-semak. Bahkan berdasarkan laporan tanggal 24 Desember 1801. Muncul usulan untuk memberhentikan Sang Bupati karena kegemarannya mengonsumsi opium dan minuman keras,” ucap Ryzki dalam tulisannya.
Karena kondisi itu, Tumenggung Rangga Adikusumah II akhirnya diberhentikan pada 1802. Praktis kemudian, Batulayang sebagai kabupaten akhirnya dihilangkan. wilayahnya lalu digabungkan dengan Kabupaten Bandung. Sementara sang pewaris tahta, diasingkan ke Batavia hingga akhirnya meninggal dan dimakamkan di Mangga Dua.
Meski tak secakap ayahnya dalam memimpin, Ryzki menulis kehilangan Kabupaten Batulayang begitu disesalkan. Pemicunya karena nasib perkebunan kopi tetap sama di bawah kuasa Bupati Bandung. Ini kemudian Ryzki tuangkan sebagaimana laporan C.W Thalman, G.F Smit dan J.G Bauer pada 1807.
Ryzki sendiri melihat tindakan Tumenggung Rangga Adikusumah II sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Ia menduga, Tumenggung Rangga Adikusumah II telah memulai perang urat saraf dengan Pieter Engelhard. Melawan dengan cara menelantarkan perkebunan tersebut.
“Berdasarkan laporan itu, dapat disimpulkan bahwa ada faktor lain yang membuat Bupati Batulayang terakhir dihukum. Kemungkinan karena ia bermasalah dengan Pieter Engelhard dan melawan dengan cara menelantarkan perkebunan kopi,” kata Ryzki.
Bupati Batulayang Lalu Diasingkan
Untuk selanjutnya, kebijakan budidaya kopi menurut Ryzki, saat itu memang membebani rakyat. Ia pun menulis bahwa perlawanan Bupati Batulayang sebagai fenomena unik yang menggambarkan keberanian seorang pejuang.
“Semangat perlawanan terhadap penjajah, nantinya akan dicerminkan dalam perjuangan politik abad ke-20, dalam perjuangan melawan kolonial. Ia adalah Otto Iskandar Di Nata alias Si Jalak Harupat,”. Pejuang yang merupakan keturanan asli dari Batulayang, dan ditetapkan menjadi pahlawan nasional. Demikian Ryzki menutup tulisannya. <Anto/geobdg>