BANDUNG — Deflasi empat bulan berturut-turut secara bulanan ini pertama kali terjadi sejak 1999 atau 25 tahun terakhir. Hal itu artinya, selama era reformasi baru kali ini Indonesia mengalami deflasi empat bulan beruntun.
Turunnya harga-harga selama 4 bulan ke belakang ini patut dicermati. Hal ini, deflasi berturut-turut semakin menegaskan sinyal pelemahan daya beli masyarakat di tengah kondisi ekonomi sedang tak stabil.
Sebagai pembanding, pada 1999 deflasi pernah terjadi dalam delapan bulan beruntun yakni pada Maret (-0,18%). Lalu April (-0,68%), Mei (-0,28%), Juni (-0,34%), Juli (-1,05%), Agustus (-0,71%), September (-0,91%), dan Oktober (-0,09%). Kondisi perekonomian saat itu memang sedang carut-marut akibat krisis ekonomi tahun 1997-1998.
Untuk data Agustus 2024, penyumbang deflasi terbesar adalah makanan, minuman dan tembakau dengan deflasi 0,52% dan andil deflasi 0,15%.
Secara historis, IHK Indonesia lebih kerap mencatat inflasi dibandingkan deflasi. Catatan deflasi biasanya hanya terjadi sebulan kemudian diikuti dengan inflasi pada bulan berikutnya.
Deflasi juga cuma terjadi pada periode-periode tertentu seperti pasca Lebaran Idul Fitri. Dengan berdasar catatan historis itu pula maka deflasi dua bulan, tiga bulan, apalagi empat bulan beruntun adalah hal sangat langka. Kondisi anomali deflasi tiga bulan beruntun hanya terjadi tiga kali selama 38 tahun terakhir yakni pada 1999, 2020, dan tahun ini.
Deflasi empat bulan berturut-turut dalam sejarah panjang Indonesia hanya terjadi dua kali. Hal itu, dalam kurun waktu 45 tahun (1979-2024) yakni pada 1999 dan tahun ini. Anomali besar ini jelas memunculkan tanda tanya alias bahaya untuk perekonomian RI. <Anto/geobdg>