BANDUNG — IDF mencatat, bahwa selain meningkatkan akurasi, sistem Gospel memungkinkan penggunaan alat otomatis untuk menghasilkan target dengan cepat. Pernyataan yang sama mengatakan bahwa Israel telah mencapai lebih dari 12.000 sasaran dalam 27 hari pertama pertempuran.
Mengutip Politico, Senin (4/2/2024), Dorongan untuk memperoleh lebih banyak jawaban mengenai perang AI yang dilakukan Israel berpotensi ramai di AS. Sehingga menciptakan tuntutan bagi Negeri Paman Sam itu untuk mengawasi teknologi sekutunya di luar negeri. Serta menciptakan kebijakan bagi anggota parlemen AS yang ingin menggunakan AI di medan perang di masa depan.
Beberapa orang yang melacak kebijakan peperangan AI di AS berpendapat bahwa Israel memutarbalikkan tujuan teknologi tersebut. Mereka menggunakannya untuk memperluas daftar target daripada melindungi warga sipil. Menurut mereka, AS harus menyalahkan IDF atas pelanggaran etika tersebut.
“Sudah jelas bahwa Israel telah menggunakan AI untuk mendapatkan apa yang mereka sebut sebagai ‘target kekuatan’. Sehingga mereka menggunakannya dengan sengaja, bukan dari apa yang seharusnya. Yaitu membantu dengan presisi, untuk menargetkan warga sipil,” kata Nancy Okail. Presiden Lembaga Pemikir Kebijakan Luar Negeri Progresif Pusat Kebijakan Internasional.
Dia mengatakan IDF tampaknya mengizinkan adanya definisi yang luas mengenai “target kekuatan”. Didefinisikan oleh cabang intelijen militer sebagai “target dengan keamanan atau persepsi yang penting bagi Hamas atau Jihad Islam Palestina.”
“Dengan lebih dari 30.000 korban di Gaza. Sulit untuk mengetahui apakah IDF menggunakan AI berteknologi tinggi untuk mengidentifikasi target atau melemparkan anak panah ke peta,” ungkap Shaan Shaikh, wakil direktur dan rekan Proyek Pertahanan Rudal di Center for Strategic.
“AS harus menggunakan pengaruhnya yang belum dimanfaatkan untuk melakukan operasi ini, namun sejauh ini, pemerintahan Biden tidak bersedia melakukannya.” tandasnya. <Anto/geobdg>