Foto: Dewi Wulan diketahui terjangkit kuman TBC-RO setelah tiga tahun menjalani pengobatan.

Ancaman TBC-RO di Jawa Barat

4 minutes, 34 seconds Read

BANDUNG — Indonesia jmenghadapi ancaman resistansi antimikroba jenis lainnya, yakni kuman Mycobacterium tuberculosis yang kebal obat atau dikenal dengan sebutan Tuberculosis Resistan Obat (TBC-RO).

Salah satu penyintas TBC-RO adalah Dewi Wulan. Dia didiagnosis TBC pada 2007. Setelah menjalani pengobatan selama enam bulan, dia tak kunjung sembuh.

“Padahal minum obat sesuai anjuran. Kemudian, naik obatnya ke kategori dua, ternyata masih positif. Kan kalau obat diminum secara benar, tepat waktu, tepat dosisnya enggak mungkin positif terus,” tutur Dewi.

“Sampai akhirnya diperiksa kultur, dilihat, dibiakkan, ternyata memang ada salah satu obat yang resistan,” ujarnya kemudian.

Dewi diketahui terjangkit kuman TBC-RO setelah tiga tahun menjalani pengobatan atau pada 2010. Namun saat itu, obat TBC-RO belum tersedia di Jawa Barat.

Dewi mengakui, tidak mudah untuk menjalani pengobatan TBC-RO. Pasien harus memiliki kesabaran sebab waktu pengobatan TBC-RO yang lama. Dewi sendiri mengonsumsinya selama dua tahun

Selain itu, pasien TBC-RO juga harus memiliki ketahanan fisik dan mental untuk menangkal efek samping obat yang menurut Dewi sangat luar biasa.

“Efeknya mual, pusing, mata silau kalau melihat cahaya, halusinasi, dan efek samping lainnya” ungkap Dewi saat ditemui di tempat kerjanya di Kabupaten Bandung, belum lama ini.

Sama dengan AMR lainnya, TBC-RO adalah penyumbang utama resistansi antimikroba dan menjadi ancaman kesehatan masyarakat.

Dikutip dari situs resmi WHO, hampir setengah juta orang di dunia terinfeksi kuman TBC-RO atau sekitar 5% dari total sembilan juta kasus TBC baru di seluruh dunia, setiap tahunnya.

Mengacu pada data dalam Laporan Program Penanggulangan Tuberkulosis Kemenkes pada 2022, tercatat kasus TBC-RO mencapai 12.531 dari 724.309 kasus TB terkonfirmasi.

WHO telah merilis laporan tentang TBC skala global tahun 2021 termasuk di dalamnya laporan tentang keadaan TBC di Indonesia dalam dokumen Global Tuberculosis Report 2022.

Indonesia berada pada posisi kedua dengan jumlah penderita TBC terbanyak di dunia setelah India. Dari jumlah kasus yang ternotifikasi di 2022, baru 65% atau 8.089 pasien yang menjalani pengobatan TBC-RO.

Sementara data WHO menyebutkan hanya sekitar satu dari tiga orang dengan TBC-RO yang mengakses pengobatan.

Kendalanya, menurut juru bicara Kementerian kesehatan Nadia, banyak pasien yang enggan memulai pengobatan lantaran masa terapi obatnya yang cukup panjang. Selain itu, sejumlah pasien kesulitan mengakses Obat Anti Tuberkulosis (OAT) TBC-RO di layanan kesehatan yang letaknya cukup jauh dari tempat tinggalnya.

“Untuk memulai pengobatan, pasien harus ke rumah sakit yang mulai cukup jauh dari tempat tinggalnya. Atau saat diketahui positif, pasien tidak mau memulai pengobatan TBC-RO yang waktunya cukup lama,” urai Nadia.

Menurut WHO, TBC-RO adalah suatu bentuk TBC yang diakibatkan oleh bakteri yang tidak merespon isoniazid dan rifampisin, dua obat lini pertama yang paling efektif. Akibatnya, TBC-RO harus diobati dengan antibiotik lini kedua.

Namun, pilihan obat lini kedua terbatas dengan jangka waktu terapi yang panjang hingga dua tahun, harganya mahal, dan bersifat toksik.

Mengutip WHO, TBC-RO timbul saat obat-obat TBC digunakan tidak sesuai, kualitas obat yang buruk, dan penghentian pengobatan dini oleh pasien atau putus obat yang menyebabkan si kuman menjadi kebal.

Dewi Wulan
Keterangan gambar,Dewi Wulan, Penyintas TBC RO bersama relawan Yayasan Terjang.

Namun yang dialami Dewi berbeda, perempuan 40 tahun itu sejak awal terinfeksi kuman yang sudah resistan.

“Di situ enggak langsung diobati karena obatnya belum ada. Jadi saya nunggu dua tahun dengan kondisi badan drop terus. Hampir tiga bulan sekali selama dua tahun itu, saya batuk darah dan IGD (Instalasi Gawat Darurat) RSHS itu sudah jadi langganan saya.”

“Saya pasti akan berkunjung ke situ cuma dikasih obat yang dimasukkan ke infus untuk menghentikan darah,” kisah Dewi.

Obat TBC-RO akhirnya tersedia pada 2012 dan Dewi memulai pengobatannya. Ia menjadi pasien pertama TBC-RO yang diobati dan berhasil sembuh di Jawa Barat.

“Saya jadi ikon, maskot pasien TBC-RO di RSHS,” ujar Dewi sambil tertawa kecil.

Setelah sembuh, Dewi kemudian mewujudkan nazarnya mendirikan Yayasan Terjang – akronim dari Terus Berjuang – yang mengedukasi dan mendampingi pasien TBC.

Dibantu 60 relawan penyintas TBC, Dewi mendampingi 400 pasien TBC yang tersebar di 17 kabupaten kota di Jawa Barat. Dewi bersyukur saat ini obat TBC-RO mudah didapat, tidak seperti yang dialami dia dulu.

Adapun, pengobatan TBC-RO dimulai pada 2009 di DKI Jakarta dan Jawa Timur. Untuk memudahkan layanan dan mencegah putus obat, Program TBC Nasional Kemenkes menargetkan satu fasyankes TBC-RO di 514 kabupaten kota pada 2024.

Di akhir 2022, telah tersedia 389 rumah sakit atau balai kesehatan sebagai fasyankes TBC-RO di 318 kabupaten kota.

<Anto/geobdg>.

Share us:

Similar Posts

Leave a Reply