TOKYO–Dunia usaha di Jepang kini terguncang. Hal itu terlihat dari banyak perusahaan yang bankrut. Pada bulan Mei saja tercatat ada 1.009 perusahaan yang gulung tikar.
Menurut Asahi Shimbun, Rabu (12/6), kondisi tersebut sebagai dampak dari melemahnya yen dan tingginya biaya serta berakhirnya bantuan keuangan selama pandemi COVID-19.
Melansir laporan Tokyo Shoko Research Ltd., surat kabar itu menyebutkan bahwa jumlah perusahaan bankrut yang mencapai 1.009 itu merupakan yang pertama kali terjadi di negeri Sakura itu selama satu dekade sejak Juli 2013.
Jumlah kebankrutan meningkat pada bulan Mei selama 26 bulan berturut-turut, dan total utang perusahaan yang gulung tikar pada bulan Mei mencapai 136,7 miliar yen (Rp 14 triliun).
Semua industri, kecuali industri ritel dan telekomunikasi, mencatat angka bulanan tertinggi tahun 2024 pada bulan Mei. Termasuk sektor jasa dan konstruksi.
Asahi menyimpulkan, melemahnya yen mendorong kenaikan biaya impor seperti bahan mentah dan pasokan energi. Kondisi itu memberikan tekanan pada keuntungan perusahaan kecil dan menengah.
Hal itu juga dipicu tingginya harga minyak. Angka kebankrutan yang paling tinggi terutama terjadi pada industri konstruksi dan manufaktur.<ds/geobdg>