BANDUNG — Gelombang kebangkrutan usaha melanda Jepang. Tercatat, ada 1.009 perusahaan di Negeri Sakura yang gulung tikar pada bulan Mei 2024. Dilansir Asahi akhir Juni, jumlah itu melampaui angka 1.000 untuk pertama kalinya dalam sebulan. Hal itu, tercatat lebih dari satu dekade sejak Juli 2013.
Secara tahunan, ada peningkatan sebesar 42,9% dibandingkan Mei 2023. Perusahaan riset kredit swasta, Tokyo Shoko Research, menyampaikan bahwa secara nilai keuangan. Total utang perusahaan yang bangkrut pada bulan Mei berjumlah 136,7 miliar yen atau setara Rp 14,2 triliun (kurs Rp 103).
Lembaga itu menjelaskan arus penutupan ini disebabkan melemahnya yen dan biaya lebih tinggi. Dicabutnya stimulus pinjaman Covid-19 yang dikenal sebagai pinjaman ‘zero-zero’. Hal itu, juga yang bermuara pada gugurnya ribuan bisnis.
“Kebangkrutan meningkat dari tahun ke tahun di semua industri. Khususnya karena tingginya harga usai pandemi Covid-19,” tulis lembaga tersebut.
Ada sejumlah kebangkrutan terkait virus corona lampaui 300 dan mencapai 302 pada bulan Mei tahun ini. Hal ini adalah pertama kalinya dalam satu tahun jumlahnya lebihi 300.
Sedangkan, diakibatkan oleh melemahnya yen, tercatat ada 87 perusahaan yang bangkrut. Mereka mengeluhkan melemahnya yen mendorong kenaikan biaya impor seperti bahan mentah dan pasokan energi. Sehingga memberikan tekanan pada keuntungan perusahaan kecil dan menengah.
“Di antara kebangkrutan yang disebabkan oleh tingginya harga minyak. Angka kebangkrutan yang paling tinggi terutama terjadi pada industri konstruksi dan manufaktur,” tambah Tokyo Shoko Research. <Ato/geobdg>