BANDUNG — Semua rumah sakit bukan satu-satunya layanan kesehatan yang disorot dalam berbagai macam praktik misuse dan overuse antibiotik tersebut, tetapi juga layanan kesehatan lainnya.
Menurut Dr. dr. Anggraini Alam, Sp.A(K), Ketua Tim Program Pengendalian Resistansi Antimikroba (PPRA) RSUP Dr. Hasan Sadikin (RSHS) di Bandung, Jawa Barat, belum lama ini.
“Mulai dari obat-obatan, apakah bisa mendapatkan antibiotik dengan mudah tanpa resep di mana pun, apakah itu di apotek, klinik, atau di toko obat,” ujar dokter yang akrab disapa Anggi tersebut.
“Sekarang ke tingkat layanan kesehatan, apakah tenaga kesehatan, dokter, bidan, perawat, bahkan farmasi, dengan mudahnya memberikan antibiotik tanpa melihat seseorang itu membutuhkan antibiotik atau tidak,” lanjutnya.
Selain penggunaan obat-obatan terhadap pasien, pemberian antibiotik pada hewan ternak yang kemudian dikonsumsi manusia, juga bisa jadi faktor penyebab AMR.
“Ya, semua saling terkait. Dulu kan pernah dengar ada udang, kalau mau ekspor enggak boleh udang kita mengandung antibiotik. Terus ayam, kita kasih antibiotik semena-mena. Tetapi itulah yang sebenarnya terjadi,” ungkapnya.
Banyak negara maju, kata Anggi, kini mulai menekan penggunaan antibiotik terhadap hewan dan tanaman, bahkan pakan ternak.
“Bayangkan apabila sudah sedemikian banyaknya antibiotik, baik dari makanan dari pakan-pakan ternak, sehingga ternaknya juga ikut makan antibiotik seperti itu.
“Kemudian ada obat-obatan yang dijual bebas, membuat paparan terhadap antibiotik tinggi sehingga yang namanya bakteri-bakteri itu menjadi fasih dengan antibiotik,” timpal Anggi.
“Bakteri itu pandai, dia punya mekanisme agar si antibiotik tidak bisa membunuh dengan berbagai macam cara,” tegasnya.
<Anto/geobdg>.