Foto: Steven Timotius Dharma Suki, penyintas AMR.

Resistansi Antibiotik: Pandemi senyap ancaman kesehatan global, di Indonesia?

4 minutes, 38 seconds Read

BANDUNG — Tepatnya, tiga tahun lalu, Steven Timotius Dharma Suki tiba-tiba mengalami demam tinggi disertai badan lemas. Hal itu, dia merasakan sakit perut dan diare. Dari dokter yang memeriksanya, didiagnosis terkena tipes – salah satu penyakit endemis di Indonesia.

Umumnya, pasien yang terinfeksi bakteri Salmonella typhi – penyebab penyakit tipes – akan berangsur membaik setelah tiga hingga lima hari menjalani perawatan terapi antibiotik dan pulih secara bertahap dalam beberapa pekan. Namun, tak demikian yang dialami Steven.

Sepanjang tahun 2020, tipes menjadi penyakit langganan yang menderanya setiap bulan. Pemuda berusia 28 tahun itu harus bolak-balik ke rumah sakit dengan diagnosis yang sama. Lagi-lagi oleh dokter yang merawatnya, kondisinya dibilang “tidak wajar”.

“Soalnya saya kan tes darah, jadi kayak [hasilnya] positif terus. Padahal dokter sudah kasih dosis antibiotik yang tepat,” ungkap Steven, dilansir BBC News Indonesia, Sabtu, 27 Januari 2024.

Amoksisilin, antibiotik lini satu yang diberikan dokter pada Steven, tak mampu memusnahkan bakteri yang menyerang sistem pencernaannya. Dokter kemudian memberinya Siprofloksasin, antibiotik golongan berbeda dengan lini yang lebih tinggi.

Setelah mengonsumsi obat tersebut, Steven dinyatakan sembuh oleh dokter. Namun sayangnya, kondisi itu tak berlangsung lama. Untuk ke sekian kalinya, dia kembali terserang tipes.

Dokter mencurigai Steven mengalami apa yang disebut sebagai multidrug resistant (MDR), kondisi ketika bakteri dalam tubuh resistan terhadap minimal satu jenis antibiotik.

Steven lalu bercerita, orang tuanya sering memberi obat antibiotik ketika dirinya sakit saat kecil. Antibiotik itu dibeli orang tuanya secara bebas di apotek, tanpa resep dokter, kebiasaan yang kemudian berlanjut sampai dia dewasa.

“Orang tua tuh kebiasaan kasih antibiotik. Jadi apa pun sakitnya, radang, flu, atau demam, pokoknya ketika saya enggak enak badan lah. Itu seringnya saya dikasih antibiotik, terutama kayak Amoksisilin, plus obat kayak Decolgen,” tutur Steven.

“Nah itu terus [terjadi] tuh, ketika saya sakit dan karena kami enggak ada resep dan anjuran pakai, jadi ketika sudah sembuhan, kami stop,” cerita Steven.

Dari penjelasan dokter, Steven baru memahami bahwa antibiotik harus berdasarkan resep dokter dengan dosis yang sudah ditentukan dan wajib diminum sampai habis – ketentuan yang selama ini diabaikan oleh penggiat olahraga ini.

“Soalnya saya mikirnya gini, saya sudah enakan badan saya, sudah sembuh, buat apa beratin kerja ginjal, buat apa beratin kerja lever saya, soalnya yang masuk [ke tubuh] itu kan obat kimia pasti larinya ke lever dong. Itu yang pertama, makanya saya stop.

“Dokternya bilang, kamu itu salah konsumsinya kayak gitu. Jadi antibiotik itu mesti dikonsumsi sampai habis,” papar dia.

Dengan kondisi seperti itu, Steven dinyatakan mengalami resistensi antibiotik atau antimicrobial resistant (AMR) sehingga bakteri penyebab tipes yang bersarang di tubuhnya kebal terhadap antibiotik golongan penisilin dan quinolone.

Kedua antibiotik itu, berdasarkan klasifikasi Organisasi Kesehatan dunia (WHO), masuk dalam kategori Access, antibiotik tingkat satu yang digunakan untuk pengobatan infeksi bakteri yang umum terjadi serta tersedia di semua fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes).

Dokter akhirnya memberikan Levofloksasin yang masuk kategori Watch, yang diresepkan untuk indikasi khusus atau ketika antibiotik kelompok Access tidak efektif. Antibiotik tingkat dua ini hanya tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut.

“Itu dosisnya sudah dosis tinggi yang tadinya [minum] sehari sekali, jadi dua setengah kali [sehari]. Jadi satu tablet, terus satu setengah tablet lagi,” beber Steven.

Setelah mengonsumsi Levofloksasin, kondisi Steven berangsur pulih. Sejak saat itu dia berhenti minum antibiotik secara serampangan.

Dia baru menyadari mengonsumsi antibiotik tanpa resep dokter akan menimbulkan resistansi antibiotik yang tidak hanya dialami dirinya, tapi jutaan orang lain di seluruh dunia.

Steven bukan satu-satunya warga Indonesia yang mengalami resistansi antibiotik.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik di Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi mengatakan, kasus AMR di Indonesia cukup tinggi.

Kasus AMR yang tinggi, kata Nadia, bisa diidentifikasi dari kasus sepsis – kondisi yang terjadi karena reaksi berlebihan dan tak terkendali dari sistem imun tubuh terhadap infeksi – atau infeksi yang tidak sembuh dengan pengobatan antimikroba atau antibiotik.

Pasien sepsis

Merujuk data Kemenkes terkait pasien rawat inap yang meninggal karena sepsis di rumah sakit, jumlah kematian akibat AMR pada 2022 sebesar 25,38% atau 12.459 dari 49.095 pasien sepsis yang rawat inap.

Jawa Timur menjadi provinsi dengan jumlah kasus sepsis rawat inap dan meninggal paling tinggi.

“Resistansi antimikroba dapat berdampak pada meningkatnya morbiditas dan mortalitas pasien dan dapat menurunkan mutu dan keselamatan pasien,” ujar Nadia dalam jawaban tertulis yang diterima belum lama ini.

<Anto/geobdg>.

Share us:

Similar Posts

Leave a Reply