Pajak Naik 12 persen, Siapa Menanggung Beban?

5 minutes, 26 seconds Read

Pemerintah Indonesia telah mengumumkan rencana untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai tahun 2025. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya reformasi perpajakan untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendukung pembangunan. Namun, kenaikan tarif PPN selalu menjadi topik yang sensitif, terutama karena dampaknya akan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Lalu , siapa yang akan menanggung beban akibat kenaikan pajak?

Menjawab pertanyaan diatas, perlu ditinjau dampaknya terhadap konsumen, dunia usaha, dan perekonomian secara keseluruhan, selain juga menyikapi kebijakan tersebut dengan memberikan rekomendasi mitigasi yang dapat diambil.

1. Dampak terhadap Konsumen

Sebagai pajak yang dibebankan pada konsumsi, PPN pada dasarnya dibayarkan oleh konsumen akhir. Ketika tarif PPN dinaikkan, produsen cenderung meneruskan beban tersebut kepada konsumen melalui kenaikan harga barang dan jasa. Menurut Kementerian Keuangan, kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% hanya akan berdampak pada tambahan harga sekitar 0,9% untuk konsumen. Pernyataan ini tampaknya menunjukkan bahwa dampak kenaikan harga dianggap kecil dan tidak signifikan.

Namun, analisis yang lebih dalam menunjukkan sebaliknya. Lembaga riset Next Policy mengungkapkan bahwa kelompok menengah adalah pihak yang paling banyak membayar PPN. Dari total penerimaan PPN sekitar Rp 294,2 triliun pada tahun 2023, sebesar 40,8% atau Rp 120,2 triliun berasal dari konsumsi kelompok menengah, meskipun kelompok ini hanya mencakup 18,8% dari total jumlah penduduk. Selain itu, kelompok bawah yang memiliki proporsi pengeluaran terbesar untuk kebutuhan konsumsi akan lebih merasakan dampak kenaikan ini.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan bahwa kenaikan PPN sebelumnya dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022 berkontribusi terhadap penurunan jumlah penduduk kelas menengah dari 56,2 juta orang (20,68%) pada Maret 2021 menjadi 52,1 juta orang (18,83%) pada Maret 2023. Dengan kenaikan tarif menjadi 12%, tekanan terhadap daya beli kelompok ini dapat semakin meningkat, memperburuk kesenjangan ekonomi.

2. Dampak terhadap Produsen dan Dunia Usaha

Kenaikan PPN juga “Jika pemerintah berhasil mengimplementasikan kenaikan tarif PPN secara efektif, penerimaan negara berpotensi meningkat sebesar Rp 80 triliun per tahun, sebuah angka yang dapat menjadi motor pembangunan asalkan dikelola secara transparan.”

 pada produsen dan pelaku usaha. Produsen menghadapi dilema: apakah akan menaikkan harga jual untuk menutupi kenaikan tarif PPN atau menyerap sebagian dari beban pajak tersebut, yang akan mengurangi margin keuntungan mereka.

Sektor usaha yang menjual barang atau jasa dengan elastisitas permintaan tinggi, seperti barang mewah atau jasa hiburan, berisiko kehilangan pelanggan. UMKM, yang memiliki kemampuan terbatas untuk mengelola struktur biaya, juga menghadapi tantangan berat. Sementara itu, sektor ekspor, meskipun dibebaskan dari PPN, tetap dapat terpengaruh oleh kenaikan harga bahan baku di dalam negeri.

Menurut analisis dari Klikpajak, kenaikan PPN dapat memperlambat pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Sektor ritel dan pariwisata, yang sangat bergantung pada daya beli masyarakat, kemungkinan besar akan terkena dampak signifikan. Selain itu, kenaikan tarif ini juga dapat meningkatkan risiko penghindaran pajak di kalangan pelaku usaha.

3. Dampak terhadap Perekonomian

Dalam skala makro, kenaikan tarif PPN berpotensi memicu inflasi. Ketika PPN dinaikkan dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022, tingkat inflasi mencapai 5,51%, level tertinggi sejak tahun 2014. Kenaikan menjadi 12% diperkirakan akan memberikan tekanan tambahan pada harga barang dan jasa.

Lebih jauh, daya beli masyarakat dapat melemah, yang pada gilirannya memengaruhi konsumsi rumah tangga. Sebagai salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi, konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 55% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Jika konsumsi melambat, pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan juga dapat terhambat.

Namun, di sisi lain, kenaikan PPN diproyeksikan dapat memberikan tambahan penerimaan negara yang signifikan. Setiap kenaikan 1% tarif PPN diperkirakan mampu menambah penerimaan negara hingga Rp 80 triliun. Jika digunakan secara efektif, dana ini dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

4. Kritik terhadap Kebijakan

“Langkah menaikkan tarif PPN kerap dikritik karena dianggap menciptakan ketidakadilan sosial. Pajak ini bersifat regresif, sehingga kelompok masyarakat berpenghasilan rendah hingga menengah justru harus menanggung proporsi beban lebih besar dibandingkan kelompok berpenghasilan tinggi. Selain itu, kebijakan ini juga tidak disertai dengan langkah mitigasi yang memadai untuk meredam dampak negatif terhadap daya beli masyarakat.

Pengamat ekonomi menyarankan agar pemerintah mengeksplorasi alternatif lain, seperti memperluas basis pajak dengan menekan angka penghindaran pajak atau meningkatkan kontribusi dari Pajak Penghasilan (PPh) bagi kelompok berpendapatan tinggi. Alternatif ini dianggap lebih adil dan berkelanjutan dibandingkan hanya mengandalkan kenaikan tarif PPN.

5. Rekomendasi Kebijakan

Agar dampak kenaikan PPN dapat diminimalkan, beberapa langkah mitigasi perlu dilakukan: 1. Pemberian Bantuan Langsung: Subsidi langsung kepada kelompok rentan dapat membantu mereka mengatasi kenaikan harga barang dan jasa. 2. Insentif bagi UMKM: Memberikan insentif pajak atau bantuan lainnya untuk UMKM agar tetap dapat bersaing tanpa harus menaikkan harga jual secara signifikan. 3. Penyesuaian Tarif Progresif: Menerapkan tarif PPN progresif untuk barang dan jasa mewah, sehingga kelompok atas dapat berkontribusi lebih besar. 4. Reformasi Pajak yang Komprehensif: Meningkatkan basis pajak dan menekan penghindaran pajak daripada hanya mengandalkan kenaikan tarif.

6. Kesimpulan

Kenaikan PPN menjadi 12% adalah langkah strategis pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara. Namun, kebijakan ini memiliki konsekuensi serius, terutama bagi kelompok menengah dan bawah yang akan merasakan dampak paling besar. Tanpa mitigasi yang memadai, kebijakan ini berpotensi memperburuk kesenjangan sosial dan ekonomi, serta memperlambat pertumbuhan konsumsi domestik. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah mitigasi yang tepat agar kenaikan tarif ini dapat mendukung pembangunan tanpa mengorbankan daya beli dan kesejahteraan masyarakat.

*)Rudi Martiawan. Dosen dan Kaprodi Administrasi Publik Fisip Unpas

Share us:

Similar Posts