BANDUNG — Pansus Angket Haji telah membacakan hasil kerjanya di hadapan sidang Paripurna DPR ke-8. Pada masa Persidangan I Tahun Sidang 2024-2025 di Senayan, Jakarta. Terdapat lima rekomendasi yang dibacakan Nusron Wahid selaku Ketua Pansus.
“Alhamdulillah, melihat rekomendasi Pansus intinya adalah revisi regulasi untuk perbaikan. Hal ini tentu kita hormati dan apresiasi,” ungkap Juru Bicara Kementerian Agama Sunanto di Jakarta, dilansir kemenag.go.id, belum lama ini.
Sunanto kemudian memberi tanggapan atas rekomendasi yang disampaikan Pansus. Rekomendasi pertama, dibutuhkan revisi terhadap UU No 8 Tahun 2019. Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah dan UU No 34 Tahun 2014. Tentang Pengelolaan Keuangan Haji dengan mempertimbangkan kondisi kekinian terjadi dalam regulasi. Dan model pelaksanaan ibadah haji yang ada di Arab Saudi.
“Sedari awal Kementerian Agama telah meminta agar ada revisi regulasi, utamanya Undang-undang No 8 Tahun 2019. Hal itu, sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan ibadah haji reguler, Kemenag merasakan benar kebutuhan akan revisi regulasi. Terlebih melihat dinamika kebijakan penyelenggaraan haji di Arab Saudi,” paparnya.
Dia mencontohkan, Arab Saudi sejak 2023 mengumumkan kuota haji lebih awal dari biasanya. Pada saat yang sama, Kementerian Arab Saudi menerbitkan jadwal tahapan persiapan penyelenggaraan ibadah haji dengan kalender hijriah. Sementara proses pengelolaan program dan anggaran pemerintah Indonesia menggunakan kalender masehi.
“Dalam hal tertentu, ada momen yang menuntut penyelenggara mengambil kebijakan lebih cepat dan melakukan persiapan lebih awal. Hal seperti ini belum terakomodir dalam regulasi,” terang Nanto.
Penggabungan Mahram
Contoh lainnya terkait pembiayaan bagi jemaah penggabungan mahram atau pendamping. Regulasi saat ini tak membedakan biaya harus dibayar jemaah ikut penggabungan mahram. Walau masa tunggu mereka lebih singkat dari jamaah masuk kuota. Masa antrian jemaah yang berangkat dengan penggabungan mahram dan pendamping, secara regulasi paling lama lima tahun. Namun pembiayaannya disamakan dengan jemaah yang sudah menunggu dalam waktu yang lebih lama, bisa 12 sampai 13 tahun.
“Hal semacam ini perlu direspons dalam perbaikan regulasi. Saat ini kemenag terus melakukan harmonisasi regulasi,” ujar Nanto.
Rekomendasi kedua, diperlukan sistem lebih terbuka dan akuntabel dalam penetapan kuota haji. Terutama dalam ibadah haji khusus, termasuk pengalokasian kuota tambahan. Setiap keputusan yang diambil harus didasarkan pada peraturan yang jelas dan diinformasikan secara terbuka kepada publik.
“Sistem penetapan kuota selama ini bersifat terbuka. Penetapan kuota haji memang wewenang atribusi yang diberikan undang-undang kepada Menteri Agama. Untuk alokasi kuota haji khusus sebesar 8% itu dari Kuota Haji Indonesia itu yakni kuota pokok, bukan kuota tambahan,” timpalnya.
Indonesia sudah tiga kali menerima kuota tambahan. Praktik pembagiannya tak pernah sama. Tahun 2019, Indonesia mendapat 10.000 kuota tambahan dan itu seluruhnya diberikan untuk jemaah haji reguler. Tahun 2023, Indonesia mendapat 8.000 kuota tambahan. Sebanyak 92% untuk jemaah haji reguler dan 8% untuk jemaah haji khusus. Sedangkan pada 2024, Indonesia memperoleh 20.000 kuota tambahan, dibagi rata untuk haji reguler dan haji khusus.
“Pada tahun 2022, kouta Indonesia 100.051, dibagi 92.825 untuk haji reguler dan 7.226 untuk haji khusus. Prosentase kuota haji khusus hanya 7,2 % tak sampai 8%. Kemenag waktu itu akan digugat PIHK. Tapi memang keputusan dari Arab Saudinya pembagiannya sudah seperti itu,” imbuh Nanto.
Haji Khusus
Rekomendasi ketiga, dalam pelaksanaan ibadah haji khusus, Pansus merekomendasikan, hendaknya dalam pelaksanaan mendatang. Peran negara dalam fungsi kontrol terhadap penyelenggaraan ibadah haji khusus, harus lebih diperkuat dan dioptimalkan.
“Ya, rekomendasi ketiga ini sama dengan semangat kita untuk melakukan penguatan pengawasan. Kita sudah melakukan beberapa hal, terutama untuk penyelenggaraan umrah. Kita sudah bentuk satgas pengawasan umrah. Ke depan ini bisa diperluas termasuk pada satgas pengawasan haji khusus,” ucap Nanto.
Rekomendasi keempat, panitia angket mendorong penguatan peran lembaga pengawasan internal pemerintah (seperti Inspektorat Jenderal Kementerian Agama dan BPKP). Hal itu, agar lebih detail dan kuat dalam mengawasi penyelenggaraan haji. Bilamana dapat melibatkan pengawas eksternal, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK).
“Untuk pengawasan, mulai dari Itjen, BPK, DPR, dan DPD RI, serta kementerian dan lembaga lain sebagai pengawas internal dan eksternal. Dalam hal itu, misalnya, dalam layanan akomodasi/hotel di Arab Saudi. Klausul kontrak membuka peluang keterlibatan aparat penegak hukum Indonesia dalam penanganan tindak pidana korupsi,” ujarnya.
“Kemenag sedari awal juga sudah memperkuat kerja sama dengan aparat penegak hukum. Hal itu, untuk pencegahan dan mitigasi segala bentuk penyelewengan penyelenggaraan ibadah haji,” imbuhnya.
Rekomendasi kelima, Pansus mengharapkan pemerintah mendatang agar dalam mengisi posisi Menteri Agama RI. Dengan figur yang dianggap lebih cakap dan kompeten dalam mengkoordinir, mengatur, dan mengelola ibadah haji.
“Soal menteri, ini hak prerogatif Presiden. Termasuk penilaian kecakapan dan kompetensinya. Faktanya baik secara kuantitatif dan kualitatif. Kementerian Agama dalam tiga tahun terakhir berhasil mencapai prestasi sangat memuaskan dalam pelayanan ibadah haji,” tandas Nanto. <Anto/geobdg>