TEHERAN–Pembunuhan pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, pada Rabu (31/7) menggegerkan masyarakat internasional. Kematian tragisnya mengundang reaksi para pemimpin dunia, terutama Iran.
Iran merasa sangat dipermalukan dan prihatin karena Haniyeh dieksekusi di Negeri Para Mullah. Wajar jika Pemimpin Revolusi Islam Iran, Ayatollah Seyyed Ali Khamenei, mengeluarkan pernyataan bahwa Iran bertugas untuk membalaskan kematian Haniyeh.
Haniyeh lahir di kamp pengungsi al-Shati dekat Kota Gaza pada 8 Mei 1963. Kedua orangtuanya adalah warga yang diusir atau melarikan diri dari Kota Ashkelon selama Perang Palestina 1948.
Dari tahun 2017 hingga pembunuhannya, ia lebih sering tinggal di Qatar. Ia juga mantan salah satu dari dua Perdana Menteri Otoritas Nasional Palestina yang disengketakan.
Haniya dikenal sebagai pemimpin Hamas yang lebih moderat dan dekat dengan pemimpin spiritual Hamas, Sheikh Ahmad Yassin, yang dibunuh Israel.
Ia memperoleh gelar sarjana dalam Sastra Arab pada tahun 1987 dari Universitas Islam Gaza. Ia pertama kali terlibat dengan Hamas setelah didirikan selama Intifadah Pertama melawan pendudukan Israel.
Haniyah adalah kandidat Hamas yang memenangkan pemilihan umum legislatif Palestina 2006. Ia berkampanye tentang perlawanan bersenjata terhadap pendudukan Israel, dan menjadi Perdana Menteri Negara Palestina.
Karena konflik antara faksi Fatah dan Hamas, Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, memberhentikan Haniyah dari jabatannya pada tanggal 14 Juni 2007. Haniyah tidak mengakui keputusan Abbas. Ia terus menjalankan kewenangan perdana menteri di Jalur Gaza.
Pada 6 Mei 2017, Haniyah terpilih sebagai ketua Biro Politik Hamas, menggantikan Khaled Mashal. Ia lalu pindah ke Qatar dari Jalur Gaza.
Pada 11 April 2024, ketiga putranya, Hazem, Amir dan Mohammad, tewas ketika mobil yang mereka kendarai dibom di kamp Al-Shati di Gaza. Empat cucu Haniyeh, tiga perempuan dan satu laki-laki, juga tewas dalam serangan itu.<ds/geobdg>