BANDUNG — Kembali, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati memberikan informasi yang sangat penting, hal itu mendorong negara ASEAN bekerja sama mengantisipasi krisis pangan akibat perubahan iklim. Fokusnya, yakni komitmen mengedepankan kebijakan terhadap lingkungan dan ketahanan pangan.
Hal itu dikatakan Dwikorita dalam acara Federation of ASEAN Economist Association (FAEA 46) Conference di Yogyakarta, dilansir CNBC Indonesia, belum lama ini.
“Perubahan iklim yang semakin massif saat ini membawa dampak serius bagi perekonomian seluruh negara, tak terkecuali, termasuk dalam hal ketahanan pangan. Meski, situasi ini terus dibiarkan, maka Food and Agriculture Organization (FAO) memprediksi tahun 2050 mendatang dunia akan menghadapi krisis pangan yang hebat,” katanya.
Menurutnya, berdasarkan catatan World Meteorological Organization (WMO), tahun 2023 menjadi tahun penuh rekor temperature ditambah tahun 2024 akan semakin memanas. Kondisi ini, tak pernah terjadi sebelumnya, dimana heatwave (gelombang panas) terjadi banyak tempat secara bersamaan.
Sedangkan, katanya, Juni hingga Agustus merupakan tiga bulan terpanas sepanjang sejarah saat bulan Juli 2023 menjadi bulan paling panas. Realitas perubahan iklim itu, menjadikan tahun 2024 ini, berpeluang menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah pencatatan iklim, mengalahkan tahun 2016 dan tahun 2022.
“Perubahan iklim memberikan tekanan tambahan pada sumber daya air yang sudah semakin langka dan menghasilkan apa yang dikenal sebagai water hotspot,” paparnya.
Dwikorita menambahkan, bahwa ancaman krisis pangan pada akhirnya juga akan merembet dan berdampak pada krisis lainnya termasuk ekonomi dan politik. Hal tersebut, tentunya akan mengganggu stabilitas dan keamanan negara.
Maka dari itu, kata Dwikora, sebelum terlambat maka berbagai aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim perlu dilaksanakan. Seperti, dengan perubahan gaya hidup dan mengedepankan pembangunan ekonomi berwawasan lingkungan hijau (green Envoroment).
Informasi, FAEA Conference ke 46 konferensi tahunan yang diselenggarakan oleh Federasi Asosiasi Ekonom ASEAN (FAEA), sebuah organisasi profesional yang anggotanya asosiasi ekonom dari 7 negara. Seperti, 5 negara ASEAN ditambah Vietnam dan Kamboja.
Acara tersebut dihadiri oleh 200 peserta ekonom baik yang berlatar belakang akademisi, bisnis, ataupun pemerintahan, praktisi, pembuat kebijakan, dan mahasiswa dari negara-negara anggota ASEAN dan mitra lainnya.
“Di forum ini, dibahas berbagai isu ekonomi yang relevan dengan kawasan ASEAN, sekaligus meningkatkan kerja sama dan pertukaran ilmiah antar para ekonomi hingga pebisnis,” tandasnya. <Anto/geobdg>