Tangkapan Layar Para Narasumber oto bersama usai menerima plakat di Amaroza Hotel Bandung, pekan ini

API Jakarta Gelar Seminar Eksportir Hadapi Perang Tarif Trump

2 minutes, 57 seconds Read

BANDUNG — Amerika Serikat mengenakan tarif impor hingga 47 persen untuk produk tekstil Indonesia. Kebijakan ini merupakan bagian dari tarif resiprokal yang diberlakukan pemerintah AS. Presiden AS Donald Trump sebelumnya mengumumkan tarif resiprokal untuk sejumlah negara. Indonesia juga dikenai tarif sebesar 32 persen.

Menghadapi Perang Tarif Trump ini, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jakarta menggelar seminar bersama. Hal itu, dengan para pelaku usaha Tekstil di Jawa Barat baik pelaku UKM dan Garmen.  Menghadirkan narasumber dari Bali dari PT Labda Anugerah Tekstil Wijaya Egm SE., Amd., Mkom, Kepala Dinas Perindusterian dan Perdagangan Jawa Barat diwakili oleh Ifa Meuthia, PT Sita Gaeindo R Siti Aisyah.

Ketua Api Jakarta Ir. Irwamly MA Rajahasa mengatakan menyikapi Perang Tarif Trump ini pihaknya harus cerdas. Tapi sedikit bisa bernapas usai pemerintah melalui Menko Perekonomian Indonesia Airlangga Hartarto. Penerapannya ditunda hingga 90 hari. Selama masa penundaan itu, produk Indonesia hanya dikenakan tarif tambahan 10 persen.

“Dengan diberlakukannya 10 persen tambahan. Maka tarifnya itu menjadi 10 persen ditambah 10 persen ataupun 37 persen ditambah 10 persen,” katanya.

Perwakilan Disperindag Jawa Barat Ifa Meithia mengungkapkan Propinsi Pasundan ini, merupakan share ekspor nomor satu Nasional. Khusus komoditas tekstil (TPT) Ekspor 5,4 milliar USD dan Impor 2,5 milliar USD surplus 2,9 milliar USD, utamanya AS..

“Untuk tekstil uppers menduduki peringkat 11 produk potensial  untuk di ekspor dari Indonesia. Dengan nilai aktual ekspor 64 % sehingga masih terdapat potensi yang bisa dikembangkan,” ungkapnya.

Jabar Sumbang 54 Persen

Pasar dengan potensi terbesar untuk ekspor pakaian dan produk tekstil dunia salah satunya Amerika Serikat.  Dengan adanya aturan perang tarif Trump ini pengusaha mulai berpikir ulang. Apakah tetap ke tujuan awal atau mau mengalihkan ke negara lain.

“Jawa Barat ini masih menjadi penyumbang ekspor terbesar ke nasional sebesar 54 %. Dulu produk tekstil ini primadona, namun kini merana,” imbuh Ifa.

Sementara itu, Labda Anugerah Tekstil Wijaya Egm SE., Amd., Mkom menjelaskan membangun ketahanan industri tekstil harus cerdas. Salah satunya melalui transformasi hijau dan inovasi dapat memperkuat daya saing global. Tentunya, menjaga keberlanjutan lingkungan, efisiensi sumber daya, digitalisasi dan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan.

“Ya, satu-satunya jalan untuk menjaga keberlanjutan tersebut menjadi kunci industri tekstil nasional. Dengan produk ramah lingkungan dan berkelanjutan ini bisa menjaga kelangsungan hidup bumi,” jelasnya.

“Kami berterima kasih sekali bisa diundang seminar di Jawa Barat kali ini. Hal itu, sebagai upaya kolaborasi membangun industri tekstil dapat bertransformasi hijau  dan bertukar informasi,” papar Wijaya.

Diperusahaannya telah menerapkan produk ramah lingkungan, tapi memang investasinya cukup besar. Dan di Bali juga baru PT Labda yang mengoptimalkan inovasi ini hingga asing pun tak percaya di Indonesia ada.

“Betul ada bule Australia sempat hadir ke Bali melihat langsung green tekstil ini sampai ke pabrik dicek benar-benar. Dengan begitu sudah ada memulai industri ramah lingkungan di Indonesia tepatnya di Bali jadi magnet tersendiri,” tandasnya. <Anto/geobdg>

Share us:

Similar Posts