Ilustrasi penghisap rokok elektrik atau vape (Foto BBC)

Amankah Menghisap Rokok Elektrik?

2 minutes, 24 seconds Read

PERHIMPUNAN Dokter Paru Indonesia (PDPI) meminta pemerintah segera menerbitkan aturan yang membatasi penggunaan vape atau rokok elektrik. Karena jika tidak, vape bakal menjadi “bom waktu” masalah kesehatan dalam 10 atau 15 tahun mendatang.

Ketua PDPI, Prof DR Dr Agus Dwi Susanto, mendasarkan argumentasinya pada prevalensi perokok elektrik di Indonesia yang didominasi usia remaja dan jumlahnya meningkat hampir 10 kali lipat dibanding tahun 2011 silam.

Pada laporan yang disiarkan BBC, juru bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan aturan yang membatasi konsumsi rokok elektrik sedang dalam harmonisasi antar-kementerian dan akan dituangkan dalam turunan UU nomor 17 Tahun 2023. “Peraturan tersebut harusnya selesai dalam jangka waktu dekat,” ungkapnya.

Manajer Program Komnas Pengendalian Tembakau (Komnas PT), Nina Samidi, berharap nantinya aturan soal rokok elektrik disamakan dengan rokok konvensional, seperti kawasan tanpa rokok elektrik, pencantuman gambar peringatan bahaya rokok elektrik, dan pengendalian iklan.

Agus Dwi Susanto, menyebut angka perokok elektrik di Indonesia “meningkat pesat”.

Merujuk pada Global Youth Tobacco Survey pada 2011, persentase pengguna rokok elektrik tercatat 0,3%. Kemudian pada 2018, persentasenya melonjak hingga 10,9%.

Pada 2021, berdasarkan Global Adult Tobacco Survey, jumlah perokok elektrik -yang didominasi usia 15 tahun ke atas – naik menjadi 10 kali lipat dalam 10 tahun terakhir.

“Kalau pada remaja dengan usia 10-18 tahun, angka perokok elektrik di Indonesia juga meningkat hampir 10 kali lipat dalam dua tahun dari 2016-2018,” ungkap Agus  dalam konferensi pers virtual di Jakarta.

Ia berkata sebanyak 57% masyarakat Indonesia mengaku pernah mendengar tentang rokok elektrik – berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey tahun 2021.

Dari situ, sebanyak 11,9% menyatakan pernah menggunakan rokok elektrik dan 3,0% aktif memakai rokok elektrik.

Di antaranya karena menganggap kadar nikotin lebih rendah dari rokok konvensional, ada rasa, dapat menggunakan trik asap, dan mengikuti tren.

Hal lain, karena rokok elektrik dinilai tidak adiktif dibanding rokok konvensional, tidak menyebabkan kanker, dan ada izin dari orang tua.

“Kalau rokok elektrik tidak adiktif dan tidak menyebabkan kanker, ini persepsi yang salah,” tegasnya.

Manajer Program Komnas Pengendalian Tembakau (Komnas PT), Nina Samidi, menilai terus naiknya angka perokok elektrik di Indonesia dikarenakan tak adanya edukasi dan regulasi yang mengatur.

Sementara iklan rokok elektrik sangat bebas terlihat di media sosial Facebook, Instagram, dan YouTube.

“Jadi naiknya gila-gilaan dan mengerikan. Sekarang remaja menganggapnya vape lebih aman, padahal kata siapa aman?” katanya. <Dede Sudrajat/geobdg>

Share us:

Similar Posts