BANDUNG — Sistem kuota yang memicu protes itu sudah dihapus pada tahun 2018 tetapi dihidupkan kembali bulan lalu. Usai keputusan pengadilan, memicu kemarahan di kalangan mahasiswa.
Sekitar 40% pemuda di Bangladesh menganggur karena ekonomi merosot pasca-Covid. Dan pekerjaan pemerintah dianggap sebagai salah satu dari sedikit cara untuk mendapatkan pekerjaan yang aman. Para pemuda mengatakan kuota membuat sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan berdasarkan prestasi.
Partai Hasina, didirikan oleh ayahnya yang memimpin perjuangan kemerdekaan Bangladesh. Dituduh secara tidak proporsional diuntungkan dari sistem tersebut. Pierre Prakash, Direktur Asia dari International Crisis Group, mengatakan protes mencerminkan frustrasi. Hal itu, yang semakin dalam di jalanan terhadap erosi demokrasi dan kesulitan ekonomi negara itu. Tentunya, yang menyebabkan inflasi tinggi dan peningkatan pengangguran.
“Protes mencerminkan ketegangan politik dan ekonomi mendalam di Bangladesh. Selama beberapa tahun, ekonomi Bangladesh sudah berjuang dan pengangguran pemuda menjadi masalah serius,” ungkapnya. Dilaporkan AFP, belim lama ini.
“Tanpa alternatif nyata di kotak suara, warga Bangladesh tidak puas memiliki sedikit pilihan. Selain melakukan protes jalanan untuk menyuarakan pendapat mereka.”
Stephane Dujarric, juru bicara sekretaris jenderal PBB,belum lama ini, menjelaskan mereka mengikuti perkembangan di Bangladesh. Dia mendesak semua pihak untuk menahan diri. <Anto/geobdg>